BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sesungguhnya
setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing
yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Howard Gardner dalam bukunya
Multiple Intelligences, menyatakan terdapat delapan kecerdasan pada manusia
yaitu: kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, kecerdasan matematis logis,
kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis, kecerdasan
kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan
kecerdasan naturalis. Tugas orangtua dan pendidik lah mempertahankan
sifat-sifat yang menjadi dasar kecerdasan anak agar bertahan sampai tumbuh
dewasa, dengan memberikan faktor lingkungan dan stimulasi yang baik untuk
merangsang dan mengoptimalkan fungsi otak dan kecerdasan anak.
dalam faktanya, matematika merupakan salah satu
matapelajaran di sekolah yang mendapatkan perhatian “lebih”
baik dari kalangan guru, orangtua maupun anak. selain matematika adalah
termasuk matapelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (un) juga masih
ditemukan banyak pihak yang memiliki persepsi bahwa matematika adalah
pengetahuan terpenting yang harus dikuasai anak.
tetapi, dalam kenyataan yang dihadapi saat ini, masih
terdapat anak yang belum dibekali kemampuan untuk berprestasi cemerlang di
bidang matematika. seolah-olah mereka, dihadapkan pada dua hal yang dilematis,
di satu sisi mereka “harus”
menguasai matematika, di sisi lain ia merasa lemah untuk belajar matematika.
mungkinkah hal ini, akibat dari sistem pendidikan kita yang salah? pola
pengasuhan orangtua yang keliru? atau memang potensi matematisnya tidak
dikembangkan sejak usia dini? atau “jangan-jangan”
mereka tidak mau belajar karena merasa tidak butuh dengan matematika.
hakikatnya, setiap individu itu dalam kehidupannya pasti
membutuhkan matematika (meski tingkat sederhana, misal: jual beli). dan, pada
prinsipnya setiap anak itu dikaruniai kemampuan matematis, yakni memiliki
kemampuan mengenal angka sejak dini bahkan sebelum usia sekolah. anak usia
pra-sekolah sudah mengerti tentang kuantitas, misalnya banyak dan sedikitnya
benda, jumlah saudaranya, dll. sekarang, tinggal tugas orangtua dan pendidik lah
untuk mempertahankan sifat-sifat yang menjadi dasar kecerdasan anak agar
bertahan sampai tumbuh dewasa, dengan memberikan faktor lingkungan dan
stimulasi yang baik untuk merangsang dan mengoptimalkan fungsi otak dan
kecerdasan anak.
kecerdasan matematis memuncak pada masa remaja dan masa awal
dewasa. beberapa kemampuan matematika tingkat tinggi akan menurun setelah usia
40 tahun. kecerdasan matematis logis dikategorikan sebagai kecerdasan akademik,
karena dukungannya yang tinggi dalam keberhasilan studi seseorang. dalam tes
iq, kecerdasan matematis logis sangat diutamakan. oleh karenanya, matematika
menjadi “bermakna” dalam kehidupan individu
manusia.
nah, berpijak pada uraian singkat tersebut, kita menjadi
maklum bahwa dalam setiap individu ternyata telah terdapat potensi kecerdasan
matematis. oleh karenanya, tinggal bagaimana kita sebagai orangtua, guru,
pendamping dapat mengembangkan kecerdasan tersebut sejak usia dini. harapannya,
ketika tumbuh dewasa anak-anak tidak lagi kesulitan untuk mencari potensi
matematisnya.
dengan demikian, paud menjadi sarana efektif untuk menggali
dan mengembangan kecerdasan matematis yang dimiliki anak. tentunya, dengan cara
yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan anak. misalnya, menghitung jumlah kue,
jumlah uang, memperlihatkan warna-warni baju, menghitung banyaknya kotak
keramik, dll. dengan berusaha menggali dan mengembangkan kecerdasan matematis
anak sejak usia dini, diharapkan ketika masuk jenjang pendidikan selanjutnya,
anak tidak lagi merasa kesulitan untuk menerima materi pelajaran matematika.
dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis
tertarik untuk menulis sebuah makalah dengan judul "pengaruh kecerdasan
logika matematika dalam pendidikan anak usia dini".
B. Perumusan
Masalah
Agar
pembahasan dalam makalah ini sistematis, maka penulis merumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud kecerdasan logika
matematika?
2. Bagaimana cara mengasah kecerdasan logika
matematika pada anak?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi kecerdasan logika
matematika.
2. Untuk mengetahui cara mengasah kecerdasan logika
matematika pada anak usia dini.
D. Kerangka
Berpikir
Rendahnya
mutu pendidikan masih disandang bangsa . Hal ini dapat diminimalkan dengan
mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika.
Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran yang
menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak usia 0+
tahun.
Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus
karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk.
Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu
pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh
kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki
sekolah dasar.
Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya
sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6
tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para
ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada
usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai
usia 8 - 18 tahun.
Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa
keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas
kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi.
Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa
keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas
anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor
kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor
lingkungan harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar
kekurangan yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki.
Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang
sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai
kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait
dengan perkembangan anak antara lain: pertama, perkembangan fisik: hal ini
terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan
kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.
Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan
anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi. Ketiga, perkembangan
komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan
suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan
mengekspresikan pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan
dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional:
berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi
tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami
identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan
sosial.
orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan
anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak
diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai
dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak
mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal
dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan
menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan
antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (� 6 bulan). Pada akhir
fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai
belajar berbicara.
Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin
tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam permainan dan bahasa.
Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat
dirinya. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah
menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.
Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama
dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak
mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain
berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung
jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam
hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan
disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit.
Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.
Untuk pendidikan matematika dapat diberikan pada anak usia
0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain anak akan mendapat kesempatan
bereksplorasi, bereksperimen dan dengan bebas mengekspresikan dirinya. Dengan
bermain, tanpa sengaja anak akan memahami konsep-konsep matematika tertentu dan
melihat adanya hubungan antara satu benda dan yang lainnya.
Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan
membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak. Ketika
bermain, anak lebih terstimulasi untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi
jika dihadapkan atau menemukan masalah.
Pada pendidikan matematika dapat diberikan misalnya pada
pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan
angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah
satu, dua, tiga dan seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan
lambang bilangan "dua" karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya
kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan.
Pengenalan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk
bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Dengan
memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya.
Pengenalan penjumlahan dan pengurangan, pakailah bola
berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk pengurangan, sebanyak bola diambil
satu, dua, ..., dan . Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, ...,
sampai empat pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah
bola yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika dikurangi
atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami hakikat
"bertambah" dan "berkurang", yang ditandai perubahan jumlah
bola yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya
beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola
yang tampak.
Pengenalan hubungan atau pengasosiasian antara benda,
misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan memperlihatkan benda yang
berbentuk kotak lain seperti kotak susu, bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak
anak dapat menghubungkan antar kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga
pendidikan matematika dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari
pendidikan keluarga, yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang
anak.
Peran penting yang dapat dilakukan orang tua yaitu sebagai:
Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang dilakukan oleh anak sehingga
dapat mengikuti proses yang berlangsung. Ketika dibutuhkan, orang tua dapat
memberikan dukungan dengan mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju,
menyatakan rasa sukanya, bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua
memperkaya ide anak dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain.
Ketiga, teman bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan
anak. Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan menjadi
teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan memperkenalkan cara serta
tema baru dalam bermain.
Pengaruh orang tua sebagai "guru" pada anak
memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam mendidik
dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil centered). Dalam
mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan kata lain orang tua
dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai.
Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak bawalah mereka sambil
bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk memunculkan ide kreatif dan
inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini berarti, memberikan kesempatan pada anak
untuk menuangkan pikirannya dan bersikap tidak sok kuasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kecerdasan Logika Matematika
Kecerdasan (Inteligensi)secara umum dipahami pada dua
tingkat yakni :
1. Kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami
informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran.
2. Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses
informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem
solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah.
Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu
bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien.
Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi
pencapaian sasaran yang lebih baik dari orang yang kurang cerdas. Artinya orang
yang cerdas mestinya lebih sukses dari orang yang kurang cerdas. Yang sering
membingungkan ialah kenyataan adanya orang yang kelihatan tidak cerdas
(sedikitnya di sekolah) kemudian tampil sukses, bahkan lebih sukses dari dari
rekan-rekannya yang lebih cerdas, dan sebaliknya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan kecerdasan
matematis logis menurut adalah kemampuan penalaran ilmiah, perhitungan secara
matematis, berpikir logis, penalaran induktif/deduktif, dan ketajaman pola-pola
abstrak serta hubungan-hubungan.
Dapat diartikan juga sebagai kemampuan menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan kebutuhan matematika sebagai solusinya. Anak
dengan kemampuan ini akan senang dengan rumus dan pola-pola abstrak. Tidak
hanya pada bilangan matematika, tetapi juga meningkat pada kegiatan yang
bersifat analitis dan konseptual.
Kecerdasan logis matematis adalah kemampuan memahami
suatu kondisi atau keadaan dengan menggunakan perhitungan matematis dan melalui
penalaran logika. Fokusnya yaitu kemampuan memecahkan suatu masalah secara
logis berdasarkan informasi-informasi yang dimiliki. Sering disebut juga
sebagai kemampuan analisis. Jadi, kecerdasan logis matematis tak dibatasi pada
kemampuan memecahkan soal hitung-hitungan saja.
Kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan melakukan
penalaran, beurusan dengan angka dan kemampuan untuk memecahkan masalah dengan
rasional dan berpikir jernih.Contohnya: biasanya anak akan melihat suatu mesin
bukan dari keindahannya tetapi dari bagaimana cara kerja mesin itu (urutan
kerjanya), juga biasanya senag main catur dan otomatis biasanya senang dengan
pelajaran matematika.Kecendengannya nanti pada saat bekerja juga ada
hubungannya dengan angka-angka tersebut.
Menurut Gardner ada kaitan antara kecerdasan matematik
dan kecerdasan linguistik. Pada kemampuan matematika, anak menganalisa atau
menjabarkan alasan logis, serta kemampuan mengkonstruksi solusi dari persoalan
yang timbul. Kecerdasan linguistik diperlukan untuk merunutkan dan
menjabarkannya dalam bentuk bahasa.
Bentuk kecerdasan ini termasuk yang paling mudah
distandarisasikan dan diukur. Kecerdasan ini sebagai pikiran analitik dan
sainstifik, dan bisa melihatnya dalam diri ahli sains, programmer komputer,
akuntan, banker dan tentu saja ahli matematika.
Berkaitan dengan pelajaran matematika. Tokoh-tokoh
yang terkenal antara lain Madame Currie, Blaise Pascal, B.J. Habibie.
B. Ciri-Ciri
Kecerdasan Logika Matematika
Kecerdasan
Matematis-logis berhubungan dengan pola, rumus-rumus, angka-angka dan logika.
Orang-orang ini cenderung pintar dalam teka-teki, gambar, aritmatika, dan
memecahkan masalah matematika, mereka seringkali menyukai komputer dan
pemrograman.
Ciri-ciri lain dari kecerdasan logika
matematika ini di antaranya adalah:
1. banyak bertanya tentang cara kerja suatu hal,
2. suka bekerja atau bermain dengan angka,
3. lebih tertarik pada game matematika dan komputer
dibandingkan permainan lain,
4. suka mengerjakan teka teki logika atau soal-soal angka
yang sulit, suka dan memperoleh nilai tinggi dalam pelajaran matematika,
5. sering melakukan percobaan mengenai ilmu pasti, pada saat
pelajaran maupun pada waktu luangnya, suka membuat kategori, hierarki, atau
pola logis lain,
6. suka permainan catur, main dam, atau permainan strategi
lain,
7. mudah memahami rumus dan cara kerjanya serta tepat dalam
mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari dan
8. pandai menggunakan pengetahuannya dan memberi pendapatnya
untuk memecahkan persoalan sehari-hari.
Menurut Gardner, ciri anak cerdas matematik logis pada usia
balita, anak gemar bereksplorasi untuk memenuhi rasa ingin tahunya seperti
menjelajah setiap sudut, mengamati benda-benda yang unik baginya, hobi
mengutak-atik benda serta melakukan uji coba. Seperti bagaimana jika kakiku
masuk kedalam ember penuh berisi air atau penasaran menyusun puzzle. Mereka
juga sering bertanya tentang berbagai fenomena dan menuntut penjelasan logis
dari tiap pertanyaan yang diajukan. Selain itu anak juga suka
mengklasifikasikan berbagai benda berdasarkan warna, ukuran, jenis dan
lain-lain serta gemar berhitung.
C. Merangsang Kecerdasan Logika Matematika pada Anak Usia Dini
Pada dasarnya setiap anak dianugerahi kecerdasan
matematika logis. mendefinisikan kecerdasan matematis logis sebagai kemampuan
penalaran ilmiah, perhitungan secara matematis, berpikir logis, penalaran
induktif/deduktif, dan ketajaman pola-pola abstrak serta hubungan-hubungan.
Dapat diartikan juga sebagai kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan kebutuhan matematika sebagai solusinya. Anak dengan kemampuan ini akan
senang dengan rumus dan pola-pola abstrak. Tidak hanya pada bilangan
matematika, tetapi juga meningkat pada kegiatan yang bersifat analitis dan
konseptual. Menurut Gardner ada kaitan antara kecerdasan matematik dan
kecerdasan linguistik. Pada kemampuan matematika, anak menganalisa atau
menjabarkan alasan logis, serta kemampuan mengkonstruksi solusi dari persoalan
yang timbul. Kecerdasan linguistik diperlukan untuk merunutkan dan
menjabarkannya dalam bentuk bahasa.
Bagaimana kita merangsang kecerdasan matematis logis
anak sejak usia dini? Bagimana kita menanamkan konsep matematis logis sejak
dini? Kita bisa mengenalkan pertama kali pemahaman konsep matematika sejak usia
dini dari lingkungan sekitar kita dan pengalaman sehari-hari anak serta
memberikan stimulasi yang mendukung. Tentu saja hal ini dilakukan tanpa paksaan
dan tekanan, dan melalui permainan-permainan. Dalam pendidikan anak, peran
orangtua tak tergantikan dan rumah merupakan basis utama pendidikan anak.
Banyak permainan eksplorasi yang bisa mengasah kemampuan logika matematika
anak, namun tentu hal ini harus disesuaikan dengan usia anak. Saat anak balita
bermain pasir, anak sesungguhnya sedang menghidupkan otot tangannya yang
melatih motorik halusnya sehingga kelak anak mampu memegang pensil, menggambar
dan lain-lain. Dengan bermain pasir anak sesungguhnya belajar estimasi dengan
menuang atau menakar yang kelak semua itu ada dalam matematika.
Ketika kita mengenalkan angka pada anak jangan hanya
sebagai simbol, misalnya kita mempunyai dua jeruk, sediakan dua buah jeruk.
Sehingga anak paham tentang konsep angka dan bilangan. Lagu juga bisa menjadi
media untuk memperkenalkan berbagai tema tentang angka. Seperti lagu balonku
ada . Atau kita bisa berkreasi menciptakan lagu sederhana sendiri sambil
memperagakan jari kita sebagai alat untuk menghitung, sehingga secara perlahan
anak mudah menangkap konsep abstrak dalam bilangan.
Setelah anak mengenal bilangan 1 sampai 10, maka bisa
dikenalkan bilangan nol. Memberikan pemahaman konsep bilangan nol pada anak
usia dini tidaklah mudah. Permainan ini dapat dilakukan dengan menghitung
magnet yang ditempelkan di kulkas. Cobalah mengambil satu persatu dan mintalah
anak menghitung yang tersisa. Lakukan berulangkali sehingga magnet di kulkas
tidak ada lagi yang melekat. Saat itu dapat diunjukkan bahwa yang dilihat pada
kulkas adalah 0 (nol) magnet.
Saat berada di dapur, kita bisa mengenalkan konsep
klasifikasi dan pengelompokan yang berkaitan dengan konsep logika matematika,
misalnya dengan cara anak diminta mengelompokkan sayuran berdasarkan warna.
Mengasah kemampuan berhitung dalam pengoperasian bilangan sederhana, misalnya
ketika tiga buah apel dimakan satu buah maka sisanya berapa. Bisa juga membuat
bentuk-bentuk geometri melalui potongan sayuran. Sesekali lakukan juga kegiatan
membuat kue bersama, selain dapat menambah keakraban dan kehangatan keluarga,
anak-anak juga dapat belajar matematika melalui kegiatan menimbang, menakar,
menghitung waktu. Memasak sambil melihat resep juga melatih keterampilan
membaca dan belajar kosakata. Jangan risaukan keadaan dapur yang akan menjadi
kotor dan berantakan dengan tepung dan barang-barang yang bertebaran, karena
seperti slogan sebuah iklan bahwa berani kotor itu baik. Anak senang dan tanpa
sadar mereka telah belajar banyak hal. Saat dimeja makan pun kita mengajarkan
pembagian dengan bertanya pada anak, misalnya supaya kita sekelurga kebagian
semua, puding ini kita potong jadi berapa ya? Lalu bila puding sudah dipotong-potong,
angkat satu bagian dan tanyakan seberapa bagiankah itu? Hal ini terkait dengan
konsep pecahan.
Kita dapat juga memberikan konsep matematika seperti
pemahaman kuantitas, seperti berapa jumlah ikan hias di akuarium. Ketika
bersantai di depan rumah, anak diajak menghitung berapa banyak motor yang lewat
dalam 10 menit. Kenalkan juga konsep perbandingan seperti lebih besar, lebih
kecil dan sebagainya, misalnya dengan menanyakan pada anak roti bolu dengan
roti donat mana yang ukurannya lebih besar. Saat kita mengenalkan dan
menanyakan pada anak bahwa mobil bergerak lebih cepat daripada motor, pohon
kelapa lebih tinggi dari pohon jambu, atau tas kakak lebih berat daripada tas
adik, sebenarnya hal ini sudah termasuk mengajarkan anak pada konsep kecepatan,
panjang dan berat, sehingga fungsi kecerdasan matematikanya menjadi aktif.
Untuk kegiatan di luar rumah, ketika kita mengajak
anak berbelanja, libatkan ia dalam transaksi sehingga semakin melatih
keterampilan pengoperasian seperti penjumlahan dan pengurangan. Bisa juga
dengan permainan toko-tokoan atau pasar-pasaran dengan teman-temannya. Kita
juga dapat memberikan anak mainan-mainan yang edukatif seperti balok-balok,
tiruan bentuk-bentuk geometri dengan dihubungkan dengan benda-benda disekitar
mereka bentuk-bentuk geometri seperti segitiga, segiempat, lingkaran, persegi
panjang dan lain-lain. Pengenalan bentuk geometri yang baik, akan membuat anak
lebih memahami lingkungannya dengan baik. Saat melihat roda mobil misalnya anak
akan tahu kalau bentuknya lingkaran, meja bentuknya segiempat, atap rumah
segitiga dan sebagainya. Kita juga bisa memberikan game-game dalam komputer
yang edukatif yang mampu merangsang kecerdasan anak.
Permainan-permainan tradisional pun dapat merangsang
dan meningkatkan kecerdasan matematis logis anak seperti permainan congklak
atau dakon sebagai sarana belajar berhitung dan juga bermanfaat melatih
kemampuan manipulasi motorik halus terutama melatih kekuatan jari tangan yang
di kemudian hari bermanfaat untuk persiapan menulis. Selama bermain anak
dituntut untuk fokus mengikuti alur permainanyang pada gilirannya akan melatih
konsentrasi dan ketekunan anak yang dibutuhkan saat anak mengikuti pelajaran
disekolah.
Mengapa stimulasi untuk kecerdasan anak banyak melalui
permainan-permainan dan kegiatan bermain yang menyenangkan? Karena dengan
bermain akan membuat anak dapat mengekspresikan gagasan dan perasaan serta
membuat anak menjadi lebih kreatif. Dengan bermain juga akan melatih kognisi
atau kemampuan belajar anak berdasarkan apa yang dialami dan diamati dari
sekelilingnya. Saat memainkan permainan yang menantang, anak memiliki
kesempatan dalam memecahkan masalah (problem solving). Misalnya menyusun lego
atau bermain pasel. Anak dihadapkan pada masalah, tetapi bukan masalah
sebenarnya, melainkan sebuah permainan yang harus dikerjakan anak. Masalah yang
mengasyikkan yang membuat anak tanpa sadar dilatih untuk memecahkan sebuah
masalah. Hal ini akan memperkuat kemampuan anak keluar dari masalah. Misalnya
ketika sedang menalikan sepatu, anak akan berusaha menggunakan seluruh
kemampuannya untuk menyelesaikan hingga tuntas. Dan ini juga akan melatih
ketika anak kelak di sekolah mendapat pelajaran-pelajaran matematika yang
berdasarkan pemecahan masalah (problem solving).
Bagi usia prasekolah, ketika orangtua sudah mulai
merangsang kecerdasan logis matematis dirumah, maka akan lebih mudah bagi anak
menerima konsep matematika ketika mulai masuk sekolah. Bagi anak yang telah
masuk sekolah, orangtua juga harus terus mendukung dengan memberikan berbagai
macam eksplorasi ataupun permainan-permainan yang semakin mengasah kecerdasan
matematik logis anak dengan cara yang kreatif dan menyenangkan untuk terus
menarik keingintahuan anak. Dengan demikian anak akan menyukai pelajaran
matematika karena matematika ternyata ada disekitar mereka dan mereka
mengetahui tujuan belajar matematika. Tentu hal ini harus didukung dengan pola
pengajaran matematika di sekolah yang menyenangkan, kreatif, kontekstual,
realistik, menekankan pada proses dan pemahaman siswa dan problem solving
(pemecahan masalah), kreatif dalam mengenalkan dan mengajarkan konsep
matematika serta dengan berbagai macam permainan dan alat peraga yang menarik
sehingga matematika akan menjadi pelajaran yang menyenangkan dan
ditunggu-tunggu. Dalam buku yang berjudul ”Menjadi Guru
Yang Mampu dan Bisa Mengajar” disebutkan Learning is Most Effective When It’s Fun.
D. Urgensi Kecerdasan Logika
Matematika pada Anak Usia Dini
Satu-satu, aku sayang ibu. Dua-dua, aku sayang ayah.
Tiga-tiga, sayang adik kakak. Satu dua tiga sayang semuanya.
Apa hubungan lagu Satu-Satu Aku Sayang Ibu dengan
logika matematis? Ternyata pengenalan urutan kesatu, kedua, lalu ketiga itu
merupakan salah satu contoh logika matematis. Nah penguasaan logika dan
penalaran matematis ini disebut kecerdasan logis matematis. Kecerdasan ini
dipopulerkan oleh Howard Gardner, profesor pendidikan di yang memasukkannya
sebagai bagian dari kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence). Lebih
lengkapnya, kecerdasan logis matematis adalah kemampuan memahami suatu kondisi
atau keadaan dengan menggunakan perhitungan matematis dan melalui penalaran
logika. Fokusnya yaitu kemampuan memecahkan suatu masalah secara logis
berdasarkan informasi-informasi yang dimiliki. Sering disebut juga sebagai
kemampuan analisis. Jadi, kecerdasan logis matematis tak dibatasi pada
kemampuan memecahkan soal hitung-hitungan saja.
Pada dasarnya, semua anak memiliki kecerdasan logis
matematis. Hanya kadarnya saja yang berbeda-beda. Minat terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan berhitung (pada khususnya) juga memengaruhi perkembangan
kecerdasan ini. Satu hal yang pasti, kecerdasan ini perlu dikembangkan―terlebih
di usia prasekolah―karena anak diharapkan mampu melakukan tugas-tugas
sederhana yang mungkin saja mengandung beberapa persoalan yang harus
dipecahkannya.
Contoh, ketika anak diminta merapikan mainan yang
berserakan, dia tahu bagaimana cara merapikannya dengan memilah-milah dan
memasukkannya ke dalam boks mainan berdasarkan tipenya, merapikan buku-buku
berdasarkan ukurannya ke rak, dan sebagainya. Contoh lain, jika tiba-tiba
mobil-mobilannya tidak bisa jalan, anak diharapkan dapat mencari apa
penyebabnya secara logis dan sistematis berdasarkan segala informasi yang
dimilikinya. Anak yang memiliki kecerdasan logis matematis yang baik, akan
mudah memahami situasi maupun kondisi yang tengah dihadapi, kemudian berusaha
memecahkan masalahnya.
Dalam faktanya, matematika merupakan salah satu
matapelajaran di sekolah yang mendapatkan perhatian “lebih”
baik dari kalangan guru, orangtua maupun anak. Selain matematika adalah
termasuk matapelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN) juga masih
ditemukan banyak pihak yang memiliki persepsi bahwa matematika adalah
pengetahuan terpenting yang harus dikuasai anak.
Tetapi, dalam kenyataan yang dihadapi saat ini, masih
terdapat anak yang belum dibekali kemampuan untuk berprestasi cemerlang di
bidang matematika. Seolah-olah mereka, dihadapkan pada dua hal yang dilematis,
di satu sisi mereka “harus”
menguasai matematika, di sisi lain ia merasa lemah untuk belajar matematika.
Mungkinkah hal ini, akibat dari sistem pendidikan kita yang salah? Pola
pengasuhan orangtua yang keliru? Atau memang potensi matematisnya tidak
dikembangkan sejak usia dini? Atau “jangan-jangan”
mereka tidak mau belajar karena merasa tidak butuh dengan matematika.
Hakikatnya, setiap individu itu dalam kehidupannya
pasti membutuhkan matematika (meski tingkat sederhana, misal: jual beli). Dan,
pada prinsipnya setiap anak itu dikaruniai kemampuan matematis, yakni memiliki
kemampuan mengenal angka sejak dini bahkan sebelum usia sekolah. Anak usia
pra-sekolah sudah mengerti tentang kuantitas, misalnya banyak dan sedikitnya
benda, jumlah saudaranya, dll. Sekarang, tinggal tugas orangtua dan pendidik
lah untuk mempertahankan sifat-sifat yang menjadi dasar kecerdasan anak agar
bertahan sampai tumbuh dewasa, dengan memberikan faktor lingkungan dan
stimulasi yang baik untuk merangsang dan mengoptimalkan fungsi otak dan
kecerdasan anak.
Kecerdasan matematis memuncak pada masa remaja dan
masa awal dewasa. Beberapa kemampuan matematika tingkat tinggi akan menurun
setelah usia 40 tahun. Kecerdasan matematis logis dikategorikan sebagai
kecerdasan akademik, karena dukungannya yang tinggi dalam keberhasilan studi
seseorang. Dalam tes IQ, kecerdasan matematis logis sangat diutamakan. Oleh
karenanya, matematika menjadi “bermakna”
dalam kehidupan individu manusia.
Nah, berpijak pada uraian singkat tersebut, kita
menjadi maklum bahwa dalam setiap individu ternyata telah terdapat potensi
kecerdasan matematis. Oleh karenanya, tinggal bagaimana kita sebagai orangtua,
guru, pendamping dapat mengembangkan kecerdasan tersebut sejak usia dini.
Harapannya, ketika tumbuh dewasa anak-anak tidak lagi kesulitan untuk mencari
potensi matematisnya.
Dengan demikian, PAUD menjadi sarana efektif untuk
menggali dan mengembangan kecerdasan matematis yang dimiliki anak. Tentunya,
dengan cara yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan anak. Misalnya, menghitung
jumlah kue, jumlah uang, memperlihatkan warna-warni baju, menghitung banyaknya
kotak keramik, dll. Dengan berusaha menggali dan mengembangkan kecerdasan
matematis anak sejak usia dini, diharapkan ketika masuk jenjang pendidikan
selanjutnya, anak tidak lagi merasa kesulitan untuk menerima materi pelajaran
matematika.
E. Kemampuan
Logis-Matematis Anak Prasekolah
Nah,
berikut ini kemampuan logis matematis yang seyogianya dikuasai anak usia dini
(early childhood) dan bagaimana menstimulasinya.
1. Kategorisasi/Penggelompokan
Anak dapat
memilah-milah/mengelompokkan/mengategorisasikan segala sesuatu berdasarkan
warna, bentuk, ukuran atau lainnya.
Contoh stimulasi:
Minta anak mengelompokkan
sedotan―gunakan sedotan warna-warni―sesuai
warnanya; mana yang merah, hijau, biru, dan seterusnya. Atau, minta anak
menyusun buku-buku ceritanya dari yang kecil/tipis sampai yang ukuran tebal;
merapikan koleksi mobil-mobilannya dari yang kecil-kecil hingga yang besar; dan
lainnya.
2. Mencocokkan/Menghubungkan
Secara nalar dan logika anak
dapat menghubungkan atau mencocokkan suatu sebab-akibat, suatu keadaan dan
kondisi tertentu atau mengasosiasikan sesuatu.
Contoh stimulasi:
Lakukan dengan bantuan gambar.
Misal, di sebelah kiri ada deretan simbol angka 1, 2, 3, 4, dan 5; di sebelah
kanan ada deretan gambar apel dengan jumlah tertentu. Kemudian, minta anak
menghubungkan dengan garis antara simbol angka dengan jumlah apel yang sesuai.
3. Komparasi/Perbandingan
Anak bisa membandingkan sesuatu
dari banyak hal, apakah itu warna, pola-pola tertentu, bentuk, ukuran, dan
lainnya.
Contoh stimulasi:
Letakkan dua atau lebih suatu
benda di meja, lalu minta anak menyebutkan mana yang ukurannya lebih kecil atau
lebih besar. Bisa juga orangtua meletakkan beberapa gelas berisi air dan minta
anak menyebutkan mana yang lebih banyak dan lebih sedikit airnya.
4. Pemahaman Bentuk Geometri
Dapat mengenal bentuk-bentuk
geometri sederhana seperti bulat, persegi panjang, segitiga, dan sebagainya.
Contoh stimulasi:
Minta anak menghitung jumlah
bentuk segitiga pada sebuah gambar rumah yang sederhana atau menghitung jumlah
roda pada alat transportasi seperti becak, sepeda, dan sebagainya.
5. Pemahaman Bilangan (number bond)
Anak terampil mengolah angka dan
menggunakan perhitungan matematis. Angka juga suatu simbol yang digunakan untuk
berbagai macam hal, apakah itu menunjukkan waktu, ukuran, harga, dan
sebagainya. Yang termasuk dalam kemampuan ini adalah:
a.
Mengurutkan Bilangan (Membilang)
Dapat membilang atau mengurutkan
angka secara bertahap, seperti menyebutkan bilangan 1-5, kemudian sampai 10,
dan seterusnya disesuaikan dengan kemampuan anak. Di sini anak juga belajar
mengenai konsep dasar angka, dimana angka 1 lebih sedikit jumlahnya dari angka
2, angka 2 lebih sedikit jumlahnya dari angka 3, dan seterusnya. Konsep angka
ini juga berguna bagi anak untuk bisa menyatakan waktu, memutar nomor telepon,
dan sebagainya.
Cara stimulasi:
Paling mudah lewat nyanyian,
seperti lagu, "Satu-satu aku sayang ibu…." Atau,
ketika naik turun tangga, minta anak sambil menyebutkan bilangan secara urutan.
Bisa juga dengan bantuan benda seperti apel/bola yang dimasukkan ke dalam
keranjang, "1 apel, 2 apel, 3 apel,.." Sambil anak diajak menghitung
bendanya.
b.
Perhitungan Sederhana
Dapat melakukan penjumlahan dan
pengurangan sederhana. Konsep perhitungan ini dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, semisal ketika berbelanja.
Cara stimulasi:
Lakukan lewat nyanyian, seperti, “Satu
ditambah satu sama dengan dua. Dua di tambah dua….”
atau lagu-lagu lain yang orangtua dapat ciptakan sendiri. Bisa juga dengan
mengajak anak bermain “tambah kurang”.
Contoh, letakkan beberapa buah kubus mainan si kecil, lalu katakan, “Adek,
lihat nih, Ibu punya 1 kubus (sambil meletakkan 1 kubus). Kemudian, Adek
memberikan 2 kubus kepada Ibu (sambil meletakkan 2 kubus tersebut di dekat
kubus yang pertama). Nah, sekarang kubus Ibu ada berapa, ya? Coba Adek
hitung....” Begitu pun dengan pengurangan, namun agar anak
mngerti jangan gunakan kata “dikurang”
tetapi “diambil”.
Belajar matematika tak harus
serius, namun bisa menyisipkannya dalampengalaman sehari-hari. Berikan
pemahaman konsep matematika seperti mengajarkan anak pemahaman kuantitas.
Tanyakan padanya es krim A dengan B mana yang ukurannya lebih besar. Yang
penting, papar Abdur, orangtua memberikan stimulasi yang memadai. Saat anak
sudah bisa berkomunikasi, Anda bisa memasukkan informasi seperti pengenalan
konsep perbandingan lebih besar, lebih kecil, dan sebagainya. Angka hanyalah
simbol, sebaiknya anak memahami proses dibalik angka. "Dari magnitude
inilah anak bisa mulai mengenal konsep angka, hal inilah yang terkadang sering
diabaikan orangtua," ujarnya.
Ketika Anda mengenalkan dan
menanyakan pada anak si A berlari lebih kencang dibanding B atau si B lebih
tinggi dibandingkan A, atau tas a lebih berat dibanding tas b, sebenarnya Anda
sudah mengajarkan pada anak konsep kecepatan, panjang dalam meter atau berat
dalam kilogram. Dengan demikian, fungsi kecerdasan matematika sudah aktif.
"Sejauh anak bisa memahami itu, orangtua bisa memberikan stimulasi yang
lebih tinggi," katanya. Jika ingin memasukkan anak ke lembaga khusus
matematika, coba tinjau kembali apakah kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.
Berikan penguatan jika pemahaman
anak benar, sebaliknya luruskan pemahamannya yang menyimpang. Misalnya, ketika
anak mengatakan kecambah akan tumbuh bertambah besar, artinya anak berpikir tak
hanya tambah tinggi namun juga volumenya lebih besar, katakan 'Ya kamu benar'
sebaliknya jika anak tak mampu menebak Anda bisa memancing dengan pertanyaan
`apakah jadi lebih besar atau lebih tinggi?'. Ini salah satu bentuk orangtua
mengevaluasi anak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan pada bab II di atas, maka
sampailah penulis pada kesimpulan. Adapun kesimpulan yang dapat penulis tarik
adalah sebagai berikut:
1. Kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan
melakukan penalaran, beurusan dengan angka dan kemampuan untuk memecahkan
masalah dengan rasional dan berpikir jernih.Contohnya: biasanya anak akan
melihat suatu mesin bukan dari keindahannya tetapi dari bagaimana cara kerja
mesin itu (urutan kerjanya), juga biasanya senag main catur dan otomatis
biasanya senang dengan pelajaran matematika.Kecendengannya nanti pada saat
bekerja juga ada hubungannya dengan angka-angka tersebut.
2. Kita bisa mengenalkan pertama kali pemahaman
konsep matematika sejak usia dini dari lingkungan sekitar kita dan pengalaman
sehari-hari anak serta memberikan stimulasi yang mendukung. Tentu saja hal ini
dilakukan tanpa paksaan dan tekanan, dan melalui permainan-permainan. Dalam
pendidikan anak, peran orangtua tak tergantikan dan rumah merupakan basis utama
pendidikan anak. Banyak permainan eksplorasi yang bisa mengasah kemampuan
logika matematika anak, namun tentu hal ini harus disesuaikan dengan usia anak.
Saat anak balita bermain pasir, anak sesungguhnya sedang menghidupkan otot tangannya
yang melatih motorik halusnya sehingga kelak anak mampu memegang pensil,
menggambar dan lain-lain. Dengan bermain pasir anak sesungguhnya belajar
estimasi dengan menuang atau menakar yang kelak semua itu ada dalam matematika.
B. Saran
Adapun
saran yang dapat penulis sampaikan dalam makalah yang sederhana ini di
antaranya adalah:
1. Dalam setiap individu ternyata telah terdapat potensi
kecerdasan matematis. Oleh karenanya, tinggal bagaimana kita sebagai orangtua,
guru, pendamping dapat mengembangkan kecerdasan tersebut sejak usia dini.
Harapannya, ketika tumbuh dewasa anak-anak tidak lagi kesulitan untuk mencari
potensi matematisnya.
2. PAUD diharapkan dapat menjadi
sarana efektif untuk menggali dan mengembangan kecerdasan matematis yang
dimiliki anak. Tentunya, dengan cara yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan
anak. Misalnya, menghitung jumlah kue, jumlah uang, memperlihatkan warna-warni
baju, menghitung banyaknya kotak keramik, dll. Dengan berusaha menggali dan
mengembangkan kecerdasan matematis anak sejak usia dini, diharapkan ketika
masuk jenjang pendidikan selanjutnya, anak tidak lagi merasa kesulitan untuk
menerima materi pelajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Heni Utami. RUU
Sikdiknas Abaikan Pendidikan Anak Dini Usia. http:///www.pikiran
.com/cetak/0403/15/0801.htm (Diakses Mei 2003)
Agustian, Ary Gunanjar.2002. Rahasia
Sukses Membangun Keserdasan Emosi Dan Spiritual dan Spiritual: Esq (Emotional
Spiritual Quotient) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. : Arga
Wijaya Persada.
Ahmar, Rosanah. Bercerita Kisah Al Quran Bantu Bentuk Watak
Anak. http://www.danchan.com/weblog/wadah/65567 (Diakses Mei 2003)
Choun, Robert j.dan Michael s. Lawson, 1993. The Complete Handbook For Children Ministry: How To Reach and Teach
Next Generation. :Thomas Nelson Publisher.
Dunia Anak: Prestasi Anak, Untuk Anak Atau Orangtua?.
http://www.glorianet.org/keluarga/anak/anak pres.html (Diakses Mei 2003)
Sikap Religius Berawal dari Teladan: Kelaurga Menjadi Soko Guru bagi
Pertumbuhan Sikap Religius Anak. Hal Penting yang Kelak akan Membawa Anak
kepada Pencitraan Tuhan Secara Benar dalam Semangat Kesantunan dan Tolransi.
http://www.indomedia.com/intisari/2002/02/khas_keluarga2. htm (Diakses Mei
2003)
Nogroho. 2003. “Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini Melalui Bercerita”.
Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional Kelompok Studi Psikolinguistik
Jurusan Bahasa dan Sastra .
Pua, S.R.
Bercerita pada Anak Oleh Tim Bengkel Pak-STTT Jakarta.
http://asmbektinm.tripod.com/renung/renungGSM01.htm (Diakses Mei 2003)
Rakhmat, Jalaludin. Mengembangkan
Kecerdasan Spiritual Anak.
http://www.muthahhari.or.id/doc/artikel/sqanak.htm (Diakses Mei 2003)
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003. Anak dan Dunia “Raja
Kurus Dan Koki Gemuk”. Makalah ini disajikan dalam
seminar nasional kelompok studi psikolinguistik jurusan bahasa dan sastra .
Soekresno, Emmy. Masa-Masa
Penting Pertumbuhan Anak. http://.balitacerdas.com/kembang/masapenting/html.
(Diakses Mei 2003)
dari bebagai sumber